Ketika Kepak Sayap Garudaku Tergores Cinta

Sebagai seorang bismania, ada sebuah obsesi kecil yang selalu mengusik hati, serasa menjadi hutang sepanjang hidup sebelum aku bisa mewujudkannya.

Dua minggu sebelum perjalanan.
Sayup-sayup terdengar ringtone “Temple of The King” gubahan grup musik Rainbow, membuyarkan mood-ku untuk memejamkan mata menuju malam peraduan. Segera kuraih gadget usangku SE K800, dan terpancar ID caller “Ma2” di layar LCD.Tumben larut malam seperti ini belahan jiwaku  menelepon.

Setelah berbasa-basi dan berbagi kata-kata kemesraan…(off the record aja ya J)
“Pasti ada hal penting kalau tengah malam begini nelpon Ma” kataku sok tahu.
“Ehm…ehmm…begini Pa, Simbah Putri mengundang kita untuk datang pas hari raya Idul Qurban, ada acara kumpul keluarga di Padangan” jelasnya penuh harap, seolah menyatakan sebuah keinginan yang akan sulit terkabul.

(Catatan : Padangan adalah satu kota kecamatan masih dalam lingkup Kabupaten Bojonegoro, terletak kurang lebih 3 km sebelah timur jantung Kota Cepu, di jalur Cepu-Bojonegoro)

Piye  yo Ma, pan sorenya mesti balik ke Jakarta, tidak bakal terkejar jadwal bis dari Rembang”, jawabku  pesimistis.

Suasana pun terdiam. Bimbang hatiku menyelaraskan keinginan pasangan, urusan keluarga dan kepentingan pribadi.

Tiba-tiba nada riang pendamping setiaku memecah kebuntuan.
“Pa, gimana kalau berangkatnya dari Cepu, kita bisa memenuhi undangan Mbah Putri tanpa menganggu jadwal kepulangan ke Jakarta”

Wah cakep…sebuah ide brilian!!!

Dan jalan pewujud obsesiku setengah terbuka. Ya…sekian lama aku memendam sebuah keinginan untuk bisa “terbang” bersama Garuda Mas, kode trayek GM 7582 rute Cepu-Blora-Jakarta. Entahlah, mengapa aku begitu menggebu-gebu ingin terbang bersamanya. Mungkin sebuah perasaan yang berbicara, mengesampingkan sisi logika.  

- Masih lekat dalam ingatan, ketika banjir besar melanda pantura timur Jawa Tengah dan melumpuhkan jalur Pati-Juana di pertengahan Bulan Februari 2008 silam, sehingga “membelokkan” rute perjalanan pulang mingguan-ku Jakarta-Rembang melalui Blora. Kala itu, dengan segala keterpaksaan, mau tidak mau, suka tak suka, harus naik Garuda Mas. “Sudahlah, apa salahnya mencoba bis yang belum pernah sekalipun aku naiki”, pikirku waktu itu untuk meredam rasa kesalku akibat bencana alam.

Dan gara-gara derita banjir, aku mengenal sosok gagah Si Ijo dari Kedaung Cirebon ini.  Dan hebatnya, dalam perjalanan perdanaku aku dibuat terkesan dengan “kepak-kepak sayap”nya. Saat itu yang ditugaskan untuk melayani kelas eksekutif Jakarta-Cepu adalah armada dengan “jeroan” Hino RG tahun produksi 2005 berbaju  New Evolution karya designer kondang, Rahayu Santosa.

Sebelum bis berangkat, aku sempat berbincang dengan Mas Yanto, si kenek Garuda Mas kala itu. Masih terngiang di telinga, beliau membagi “sebait berita berharga” bagi seorang bismania.

Mas, bis ini tinggal seminggu lagi dipakai kelas eksekutif, mulai minggu depan akan turun kelas, digantikan mercy (istilah mesin mercedes benz) terbaru karoseri Adiputro. Penumpang banyak komplain Mas, bis eksekutif kok Hino, suspensinya keras minta ampun”

Itulah kalimat jujur yang terucap dari bibir beliau, penyambung lidah para penumpang. 

Sempat berguman dalam hati, “Sayang, bis sebagus ini kurang layak di mata penumpang. Begitu tinggi ekspektasi danrequirement yang mesti dipunyai armada agar  bisa dianggap bis eksekutif.”

 garuda-mas
Dan untaian kata mutiara Mas Yanto terbukti. Minggu depannya aku menyaksikan sendiri sang newcomer tergolek manis di Pool Pulogadung, dan seketika di dalam benakku terbesit obsesi untuk menjajalnya.

Garuda Mas, dengan basic chasis  OH 1525 engine OM 906LA dari pabrikan  Mercedes Benz, ditopang penghembus hawa dingin AC Thermo King mark IV, berbaju New Travego smiling face hasil sentuhan Adi Putro dengan livery sekumpulan laskar garuda yang terlihat garang dan liar mengangkasa di teduhnya  “deep green sky”.

Ketika turut larut dalam arus balik lebaran kemarin, aku sampai bergambling mengadu nasib, agar bisa menjajal bis ini. Meski jauh-jauh dari Kota Rembang, aku bela-belain naik bis ini dari Blora. Tetapi sayang, sisi atas mata dadu jatuh lagi ke armada Hino RG yang aku naiki sebelumnya, yang diupgrade kembali menjadi kelas eksekutif di saat lebaran.

Tetapi, kegagalan pertama bukan akhir segalanya. Lautan waktu masih luas membentang. Kesabaranku berbuah hasil. Jalan untuk mencoba Garuda Mas kini terbuka, jadi buat apa aku takut untuk bertaruh kembali? Lupakan dahulu Nusantara, Pahala Kencana, Gumarang bahkan Sembrani. Hatiku telah menjatuhkan pilihan, perjalanan kali ini harus naik Garuda Mas. Urusan kecele tidak mendapatkan armada yang diidamkan, anggap saja kalah bertaruh. Hehehe… -

“Ok Ma, I’ll take it. Nanti kita tetap hadir di Padangan, tengs banyak buat ide cemerlangnya.”
Kututup telepon, sembari tersenyum penuh harapan. 

Seminggu sebelum perjalanan.
Dalam kesibukan mengerjakan tugas kantor, tiba-tiba dering SMS berbunyi. Segera kubaca pesan dari Om Sep, Om-ku yang tinggal di Padangan.

Ed, tiket Garuda Mas sudah OK untuk tanggal 08 Desember,  seat nomer 2

Rupanya istriku telah berinisiatif memesankan tiket lewat Om-nya. Tampaknya sebuah sikap antisipatif dan berjaga-jaga akan kekhawatiran tidak mendapat tiket. Karena hari itu adalah puncak arus balik libur lebaran haji.

Sip… duduk di “kursi keramat”. Langkah kedua sudah terlalui, meski masih H2C (Harap Harap Cemas), akankah nanti mendapatkan armada idamanku? Apakah keberuntungan akan terus memayungiku?


08 Desember 2008, The Judgement Day
Setelah berpamitan dengan keluarga besar, akhirnya kaki ini melangkah menuju titik embarkasi Garuda Mas di Kota Cepu. Dengan diantar permaisuri dan putri kecilnya, dari kejauhan jelas tertangkap di mata.

O la la, itu dia si jali-jali, Garuda Mas B 7582 IW…
frontside-gm-7582

Terwujud sudah asaku yang selama ini terpendam. Kalau sudah rejeki, dia tak akan kemana. Begitu fatwa pujangga.

Sebuah armada yang selama ini selalu mengusik hati. Terkadang hadir di alam mimpi dan menggumpalkan sebuah obsesi di dalam sukma seorang bismania, kini siap memuaskan dahaga penantianku untuk mencobanya.

Setelah chek in dan boarding di agen, yang ternyata menumpang kantor di dealer sepeda motor Yamaha “Jaya Mandiri” Cepu, dengan tiket bernomor seri 00542 seharga Rp160.000,00, nomor registrasi armada B 7582 IW dan masa expired STNK tertulis 03-13, bergegas kujejakkan tapak kaki untuk pertama kali ke dalam armada ini. Segera kutaruh tas ke dalam bagasi atas,  sambil sejenak kupandangi piranti yang dibenamkan di dalam ruang interior. Terlihat LCD  TV “Sharp Aquos” 19 inci nangkring didome untuk menyegarkan mata, audio speaker merk “Clarion” yang terpasang beberapa unit di bawah rak bagasi dan pemutar cakram optik cap “JVC” di laci dashboard untuk memanjakan telinga para pemakai jasanya. Kursi penumpang reclining seat, lengkap dengan leg rest dan arm rest dengan jok yang super empuk dan ergonomis buatan Aldilla. Dengan konfigurasi 2-2 kapasitas 28 penumpang, smoking area tempat muktamar ahli hisab…eh maksudku ahli hisap dan dua seat tambahan di dalamnya, toilet yang bersih dan tidak bikin ilfeel dilihatnya, beserta hembusan hawa dingin AC Thermo King semakin menyempurnakan sosok Garuda Mas ini.

Well…soal armada beserta fasilitasnya cukup OK, bagaimana dengan “the man behind the steering wheel”?

Jalur Cepu-Semarang, The Longest Bumpy Road in Java island
And my journey is begin. Tepat pukul 13.30, Garuda Mas  take off dari runway Jalan Pasar Kota Cepu, diiringi hiburan audio visual rancak gendangnya OM New Pallapa dan syahdunya suara biduanita Mbak Lilis Herlina dan Mbak Dwi Ratna beserta duet mesranya Mas Agung dan Mas Brodin membawakan tembang-tembang senandung cinta Indonesian oldies semacam Sepanjang Jalan Kenangan, Setangkai Anggrek Bulan, Kisah Seorang Pramuria, Teringat Slalu dan Teluk Bayur.

Di bawah kendali Pak Widodo dibelakang stir (Garuda Mas tidak mengenal co-driver, hanya driver tunggal hingga tujuan akhir) dan Mas Yanto (akhirnya bis ini menjadi batangannya) sebagai assisten driver, perjalanan dengan Garuda Mas kali ini “kupercayakan”. Meski telah separuh bayah dan berkaca mata plus, terlihat Pak Wid (panggilan akrabnya)  masih enerjik, segar dan tanpa kenal lelah bersolorun mengendara bis Cepu-Jakarta.

Separuh kapasitas seat telah terpenuhi, dan sebagian besar adalah komuter Cepu-Jakarta dan para pegawai Pertamina yang pergi berdinas. Mereka tampak begitu akrab dengan kru bis, bahkan beberapa orang dengan tiket resmi naik di tengah perjalanan, karena Pak Wid sudah hapal betul pelanggan setianya dan dimana nanti mereka akan naik. 

Bis pun melenggang, membelah kota kecil Cepu, menyusuri jalan Cepu-Jepon, yang didominasi vegetasi hutan Tectona Grandisyang berumur puluhan tahun, yang terlihat masih lebat, hijau, tinggi menjulang dan terjaga kelestariannya. Dengan “kepak-kepak sayap”nya, serasa Garuda Mas terbang melintas angkasa, membelah rimbunnya daun-daun  dan kokohnya dahan-dahan pohon jati, yang berada di bawah naungan Perum Perhutani- KPH Cepu.

Kesan pertama sebagai seorang sopir, Pak Wid begitu lihai, bertipe skillfull and speedfull, memiliki jam terbang tinggi dan kaya pengalaman dalam mempiloti armada baru ini. Kondisi jalan yang meliuk-liuk dan bergelombang, bahkan beberapa ruas jalan dalam pengerjaan betonisasi, seolah menjadi makanan empuknya, sampai hapal di luar kepala di sisi mana roda bis “Tubeless Bridgestone R150”nya ditapakkan agar bis tetap nyaman menjalai rute bergelombang terpanjang di Pulau Jawa, sepanjang hampir 100 km, yang membujur mulai dari Cepu-Jiken-Cabak-Jepon-Blora-Ngawen-Kunduran-Ngaringan-Wirosari-Tawangharjo-Grobogan-Godong hingga Gubug.

Pak Wid mampu memaksimalkan potensi kekuatan dan kenyamanan yang disandang MB OH 1525. Meski berkali-kali bodyrollbis terguncang oleh tidak ratanya kontur jalan, tidak membuat kehilangan kenyamanan. Terlihat sebagian besar penumpang langsung tertidur tanpa terganggu kondisi jalan yang sungguh-sungguh membuat perut mual bila naik kendaraan yang minim fitur kenyamanan. Dan sepertinya, suspensi leaf spring yang tertanam di  keempat kaki sang Garuda Mas bekerja keras meredam setiap kejutan dan getaran hebat oleh beratnya medan jalan.

Jam 14.14, Garuda Mas telah tiba di Agen Blora, dan menaikkan beberapa penumpang. Sembari menunggu penumpang naik, kucoba mengabadikan momen langka dan berharga ini dengan mengambil foto Garuda Mas.
gm-di-agen-blora

Jam 15.45, berhenti lagi di depan Alun-Alun Kota Purwodadi. Dan sisa kursi dari Blora terisi penuh oleh penumpang yang naik di agen Grobogan. Tanpa berhenti lagi untuk menaikkan penumpang, bis pun melesat hingga ke arah tujuan akhir.

Sempat terdengar obrolan Mas Yanto dengan salah seorang penumpang yang naik dari Purwodadi, semenjak Garuda Mas berganti armada baru, penumpang-penumpang yang loyal dan sempat berpaling, telah kembali lagi ke “ketiak” sayap penguasa jalur Jakarta-Purwodadi ini. Penumpang di sepanjang jalur ini kembali ramai, dan menyimpulkan bahwa keberadaan armada baru berbanding lurus dengan peningkatan okupansi penumpang bis. Dan inilah pasar yang kembali digarap oleh Garuda Mas.

Sebagai player yang speedfull, tidak ada lawan berarti di jalur Cepu-Semarang, selain “adu balap” dengan Bis Selamet bergambarsuperhero, Spiderman, jurusan Wirosari-Jakarta. Sempat memberi perlawanan sengit selepas Wirosari. Terbukti Garuda Mas yang telah masuk menyalip hingga separuh badan, memundurkan langkah karena tiba-tiba muncul kendaraan di depannya, gara-gara bis berplat nomor K 1524 FA ini tidak mau mengalah. Akhirnya menjelang daerah Tawangharjo, disalipnya PO milik pribumi Kota Pati ini.
selamet-spiderman
Tidak mudah memang men’take over’ kendaraan besar di jalur sempit. Untuk berpas-pasan dengan kendaraan besar dari arah berlawananan, roda-roda sebelah kiri harus turun untuk melindas jalan tanah. Tanpa kelihaian Pak Wid, mustahil bisa menyalip kendaraan yang ngeyel tak mau disalip.

Ada banyak nilai positif dalam diri Pak Wid. Beliau cukup santun dalan berkendara, tidak pernah ngeblong dengan mengorbankan kendaraan dari arah berlawanan, meski hanya sebuah sepeda motor. Berkali-kali kesempatan menyalip ada, tetapi akan beliau batalkan bila ada kendaraan dari depan. Bahkan menurutku beliau juga patuh lampu pengatur jalan, jarang nekat melanggar lampu meski kondisi persimpangan jalan sedang sepi. Salut buat defensive driving dan safety drivingnya.

Dan akhirnya, tepat pukul jam 17.36, Garuda Mas telah sampai di ujung tol Krapyak, Semarang.

Jalur Semarang-Pemalang, ajang unjuk superioritas Garuda Mas
It’s showtime.
Menapaki jalan Pantura yang relatif mulus dan lebar selepas Kota Semarang, ketangguhan dan kedigdayan Garuda Mas semakin tak terbendung. Aku yang terbiasa dengan gaya balapnya driver-driver Nusantara pun tak kalah takjub melihat gaya mengemudi Pak Wid. Seolah Pak Wid menyembunyikan sosok garangnya mengemudikan kendaraan dibalik keramahan dan murah senyumnya . Bukan sekedar bis malam yang diajak adu unjuk kekuatan, bahkan kendaraan kecil dengan gaya crazy drivingdiladeni. Meski tidak selamanya bisa mengimbangi kendaraan kecil, tetapi dengan kendaraan besar yang dibawanya, bagiku tetaplah Pak Wid di atas segalanya. Tak satupun bis mampu bertahan berlama-lama dibuntutinya. Aku yang duduk di kursi keramat pun berdesir dan merinding setiap kali jarum di speedometer “mencium” skala 100 km/jam.  Asyik, penuh sensasi dandeg-degan menjadi saksi kehebatan dan senioritas Pak Wid di jalan Pantura. Benar-benar sang penakluk keramaian jalan Pantura malam itu.

Akhirnya adegan sinetron “Adu Balap Sirkuit Pantura” pun terpotong iklan, alap-alap ijo ini mesti masuk pitstop yang berlokasi di Desa Jenar Sari, Kec. Gemuh, Kab. Kendal. Jam 18.14 ketika bis masuk pitlane dan terhenti di paddock yang bernama Rumah Makan Sari Rasa, untuk memberi kesempatan Garuda Mas menghidangkan makan malam dan memberi waktu penumpang untuk menunaikan kewajiban sholat.  Dengan menu nasi putih, ditemani lauk ayam opor, sambal goreng tempe dan krupuk udang, dibasahi dengan kuah sayur sop dan tumis kacang, segelas teh hangat pengusir dahaga, serta pisang ambon untuk mencuci mulut,-meski dengan cita rasa yang sangat standar-, setidaknya menegaskan bahwa Garuda Mas benar-benar memaintain pelanggan setianya, menjunjung tinggi yang namanya “customer satisfaction”.

Kondisi rumah makan pun masih sepi, tak terlihat satu armada pun. Ataukah jangan-jangan Garuda Mas yang pertama menyambangi rumah makan di malam ini?

Baru ketika bis akan berangkat terlihat konvoi armada Rosalia Indah (kode lambung : 203, 204, 209, 224 dam 234), tiga armada Kramat Djati beda generasi (Old Travego, Laksana Comfort dan Royal Coach E Classic), satu armada ‘the blues’, Langsung Jaya disusul satu armada ‘the reds’, Tunggal Daya Putra.

Jam 18. 40, saat Garuda Mas kembali terbang menyeruak. Adegan babak kedua pun dimulai. Pak Wid langsung tancap gas, berlomba menaklukan waktu agar dinihari telah sampai tujuan. Tetaplah “Kerajaan Pantura”  di bawah kepak-kepak sayap tangguh Garuda Mas ini. Alas Roban seolah menjadi wahana bermain dan daerah kekuasaannya, begitu mudahnya menaklukkan jalur tengkorak sepanjang Gringsing hingga Kota Batang Dari Semarang hingga Pemalang, tercatat olehku berdasar urutan, bis-bis  yang akhirnya diasapi oleh Garuda sebagai bukti kedigdayaannya, mulai Garuda Mas B7009WB, Dahlia Indah AG… UR (tidak terbaca nopol-nya), Bogor Indah B7352XA, Sumba Putra AD1524BG, Sedya Mulya AD1451CG, Gajah Mungkur AD1431FG,  Coyo (tidak jelas nopol-nya), Sindoro Satria Mas H1453BG, Sedya Mulya AD1411CG, Dedy Jaya G1572DG, Dharma Putra G1483AA, Aneka Jaya AE7118UX, Sinar Jaya B7406ZX, dan Purwo Widodo AD1475HG, tanpa pernah sekalipun tersalip oleh lawan sejenisnya. Meski telah memberi perlawanan, semuanya pun disalip dengan perjuangan keras. Sayang, jam Garuda Mas terlalu pagi, sehingga belum saatnya peak season arus bis malam ke Jakarta. Andai jam pemberangkatan dari Cepu diundur satu atau dua jam, pastilah kiprah sang Garuda Mas ini akan teruji oleh aksi dan ulah bis-bis Plat K.


Mengatur ritme
Selepas ringroad Kota Pemalang, di kala jalanan masih sepi oleh arus bis ke Jakarta dan tiada terlihat bis lagi dari arah timur, Pak Wid pun menurunkan ritme mengemudinya, memelankan laju kendaraan. Sesekali dihisapnya sebatang rokok Dji Sam Soe untuk melepas kebosanan dan menyegarkan kembali pikiran. Syaraf-syaraf tubuh yang tegang telah membuatnya sedikit lelah dan saatnya beristrirahat sambil tetap dalam kondisi menyetir. Bayangkan, sudah hampir 7 jam pria kelahiran Jogja ini duduk di kursi kemudi tanpa “pemain pengganti”. Mungkin itulah trik beliau untuk mengeliminasi kelelahan dan menghilangkan kejenuhan menyusuri rute panjang Cepu-Jakarta.  

Akupun mulai mengantuk. Hembusan hawa dingin AC Mark IV membuai rasa kantukku untuk membayar lunas waktu istirahatku yang berkurang untuk melihat  aksi piwai Pak Wid. Dan akhirnya…zzz….zzz…zzz…aku tertidur.

Kepak Sayap Garuda-ku pun Tersayat oleh Cinta
Tiba-tiba…brakkk… terasa bis terdorong ke samping kiri oleh benturan. Pak Wid pun segera mengerem mendadak untuk menghentikan laju kendaraan sambil bergumam “Asemm…”.

Ya Allah… aku pun kanget, terbangun dan belum ngeh dengan apa yang terjadi. Masih segar dalam ingatan sewaktu kecelakaan bis Nusantara di Pekalongan, seolah-olah terjadi kembali malam ini. Kucoba kukuasai diri dari phobia kecelakaan. Alhamdulillah, puji syukur, tidak ada kejadian berarti. Kulihat penunjuk waktu di atas pintu, jam digital menunjuk di angka 21.46.

Belum hilang rasa kagetku, sejurus kemudian, mataku terpana melihat aksi heroik dan bukti solidaritas Garuda Mas boomelJakarta-Pekalongan di lajur 2 arah Jakarta yang memotong jalan sebuah Truk Trailer Mitsubishi Fuso L8989UV di lajur 1, memaksa sopir truk berhenti dan menepi. Seketika jalanan pantura macet karena terhalang oleh Garuda Mas kelas ekonomi ini. Pikirku, pasti truk ini yang telah mencederai Garuda Mas-ku dan sedang berusaha untuk kabur.

Benar juga, Pak Wid dan Mas Yanto pun angkat kaki dari tempatnya. Dihampirinya truk yang berhenti di depannya, memaksa sopir dan kenek truk untuk turun dimintai pertanggungjawaban. Mereka mendekat ke sisi luar bis, kulihat dari spion kanan, mereka  melihat kondisi bodi bis bagian kanan belakang dan lirih terdengar adu argumentasi.

Rinai gerimis malam seolah membuat suasana semakin pilu bagi New Travego generasi pertama ini.

Atas inisiatif Pak Wid, truk disuruh berjalan untuk menunggu di pertigaan Tol Panci agar tidak memacetkan jalan. Ternyata TKP terjadinya insiden kecil ini berada pada posisi 2 km menjelang pintu gerbang tol Kanci. Di dalam bis Pak Wid bercerita, bahwa truk yang tengah melaju di lajur 2 menghindari lubang dan sopir membuang stir ke kiri. Ternyata antara perhitungan dan eksekusi pengemudi truk sedikit meleset, jalanan yang diguyur hujan mengakibatkan licin sehingga roda slip. Walhasil sisi kiri truk menghantam bodi belakang sebelah kanan Garuda Mas yang naas ini.

Sewaktu sampai di mulut tol Panci, para korban (kru Garuda Mas) dan pelaku (kru Truk Fuso)  sedang bernegosiasi soal kerugian, beberapa penumpang turun termasuk aku, ingin melihat sejauh mana kerusakan yang ditimbulkan oleh crash kecil sesama monster jalanan.  

Tampak luka kecil, dalam dan memanjang menggores di pintu darurat dan sebidang strecth berukuran 30 cm X 30 cm di bodybawahnya menyayat-nyanyat dan mematahkan salah satu sayap burung garuda. Sebagian sticker Laskar Garuda olah hasil dari digital printing  ini rusak, terkoyak oleh tajamnya sudut bumper truk dan tergerus patahan tiang  spion truk sebelah kiri,  seolah merontokkan kekuatan kepak-kepak sayap Garuda-ku yang gagah ini.

Deal antara si pelaku dan si korban telah disepakati, dan Garuda Mas pun berjalan kembali. Sudah malas bertanya tentang ending of story hasil negosiasi antara korban dan pelaku, aku sudah trauma seringkali mengalami insiden di jalan dengan bis malam. 

Kembali teringat dengan truk pelaku yang bernopol L 8989 UV, mencoba mengutak-atik dari cara pandang yang berbeda dalam pencarian hikmah dari peristiwa yang baru saja terjadi. Mengapa secara kebetulan  truk berletter L…UV? Misal tanpa angka pemisahnya, akan tergabung menjadi LUV, tulisan bahasa slank anak-anak muda sekarang untuk menggantikan kata LOVE, dibaca laf, yang berarti cinta.  

Apakah ini bermakna sayap garuda nan perkasa akan patah bila bersinggungan dengan cinta yang “berbisa”? Dan apakah kekuatan dan superoritas sebuah kekuasaan, yang dilambangkan dengan burung Garuda, akan runtuh oleh cinta yang melenakan? 

Ah, biarlah menjadi retorika, berpulang kepada tiap pribadi untuk memaknainya. Kurebahkan kembali tubuhku melanjutkan tidur malam yang sempat terganggu “ciuman tanda tak sayang” dua insan jalanan di tengah malam buta.

The End of My Journey, Prasasti Pulogadung
Tepat pukul 03.34 dini hari, (09/12), Garuda-ku telah terparkir di sudut pool Pulogadung. Kukemasi semua barang-barang bawaanku. Segera kuturun, dan tak lupa untuk mengabadikan sayap-sayap patah burung Garuda. Meski kamera HP-ku tak kan sanggup memembus temaram cahaya lampu-lampu jalanan untuk menghasilkan gambar yang berkualitas, tetapi setidaknya aku telah memprasastikan peristiwa ini lewat lembaran-lembaran foto.
sayatan
Rangkaian foto yang akan selalu menjadi reminder bagiku,  tentang kerasnya hidup di dunia jalan raya,  perlunya sikap selalu mawas diri dan waspada terhadap segala resiko di jalanan, tentang arti kerja keras dan profesional dalam berkarya, tentang sosok Pak Wid, yang meski tanpa logo, slogan dan disuruh-suruh perusahaan, tetap sebagai sosok pribadi santun, penebar senyum dan seorang yang penyabar  (3S, Sopan, Sabar, Senyum), tentang Mas Yanto, pelayan nan baik hati yang tak pernah mengeluh menghadapi “kerewelan penumpang” dan satu lagi tentang rasa syukur, bahwa rejeki tak harus berujud materi, kesempatan mewujudkan obsesi  adalah juga sebagian dari rejeki-Nya.

Jakarta, 09 Desember 2008
Kutulis dengan tinta emas, kutorehkan nama Garuda Mas B 7528 IW Cepu-Jakarta dalam  “Top 100 of Impressed Buses Upon My Journey” 


Setiba di rumah, bersamaan saat adzan Shubuh berkumandang. Terucap rasa syukur atas anugrah dari-Nya berupa keselamatan selama perjalanan. Dalam doaku, teriring rasa terima kasih yang mendalam untuk Garuda Mas, yang telah memberi banyak makna selama perjalanan dengan sentuhan sisi humanis sebagai framingnya.  Wassalam.

Caper oleh Mas Didiksalambanu

0 Response to "Ketika Kepak Sayap Garudaku Tergores Cinta"

Posting Komentar